Gerilya dan Serangan Konvensional: Fleksibilitas Taktik Infanteri TNI AD di Berbagai Medan
Jakarta, 24 Juni 2025 – Dalam menghadapi spektrum ancaman yang luas, mulai dari perang konvensional hingga konflik asimetris, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) mengandalkan fleksibilitas taktik infanteri. Kemampuan untuk beralih dan mengintegrasikan strategi gerilya dengan serangan konvensional menjadi kunci dalam memenangkan pertempuran di berbagai medan, mulai dari hutan lebat hingga perkotaan padat. Fleksibilitas taktik infanteri ini memastikan bahwa pasukan dapat beradaptasi dan tetap efektif di tengah dinamika perang yang terus berubah.
Taktik gerilya, yang telah menjadi bagian integral dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia, menekankan pada mobilitas tinggi, penyamaran, dan serangan kejutan. Pasukan infanteri yang terlatih gerilya akan memanfaatkan kondisi geografis, seperti hutan atau pegunungan, untuk melakukan penyergapan, penghadangan, dan sabotase terhadap musuh yang lebih besar. Mereka menghindari pertempuran terbuka yang berlarut-larut, memilih untuk menguras logistik dan moral musuh melalui serangan kecil namun efektif. Ini adalah contoh nyata fleksibilitas taktik infanteri yang memungkinkan pasukan yang lebih kecil menghadapi kekuatan yang lebih besar.
Di sisi lain, serangan konvensional melibatkan penggunaan kekuatan penuh dengan dukungan artileri, kendaraan lapis baja, dan kadang-kadang dukungan udara. Taktik ini sering digunakan dalam operasi ofensif untuk merebut atau menguasai wilayah kunci. Infanteri dalam konteks ini berperan sebagai elemen penyerbu garis depan yang membersihkan medan, mengamankan posisi, dan menjaga garis komunikasi. Kolaborasi erat antara infanteri dan unit pendukung lainnya sangat penting dalam skenario ini. Pada Latihan Gabungan TNI “Dharma Yudha” yang dilaksanakan di Baturaja, Sumatera Selatan, pada Mei 2025, simulasi serangan konvensional skala brigade berhasil dieksekusi, menunjukkan kesiapan infanteri dalam pertempuran frontal.
Fleksibilitas taktik infanteri TNI AD juga diwujudkan dalam pelatihan yang adaptif. Prajurit dilatih untuk menjadi mahir dalam perang hutan, perang kota, dan operasi di pegunungan, serta dihadapkan pada skenario yang menggabungkan berbagai jenis ancaman. Mereka tidak hanya belajar cara berperang, tetapi juga cara berpikir adaptif, mengambil keputusan cepat di bawah tekanan, dan beroperasi secara efektif baik sebagai bagian dari formasi besar maupun tim kecil yang mandiri. Komandan Pusat Pendidikan Infanteri, Brigjen TNI Wisnu Putranto, dalam amanatnya pada upacara kelulusan Bintara Infanteri angkatan 2024, menegaskan bahwa “Prajurit infanteri harus menjadi seniman perang, mampu melukis kemenangan dengan kuas gerilya atau kanvas konvensional.”
Dengan demikian, fleksibilitas taktik infanteri adalah aset strategis TNI AD yang tak ternilai. Kemampuan untuk mengintegrasikan dan beralih antara taktik gerilya dan konvensional memastikan bahwa pasukan siap menghadapi setiap tantangan, menjaga kedaulatan, dan melindungi kepentingan nasional Indonesia di berbagai medan pertempuran.